Thursday, November 02, 2006

Retak-retak Kenangan

Peluk dan cium rapuh, serta senyum dan tawa luruh, melilit gulungan semu rambutnya yang menjuntai hingga lantai. Mimpi-mimpi yang kuceritakan tak ubah bualan yang perlahan hilang dalam keterburuan langkah dan kesalahan yang tak terhitungkan. Kecewa memang pernah merebak di langit dan bumi ketika dosa kami amini dalam memori. Tetapi tak ada lagi yang dapat dicatat dari itu. Tulang-tulang telah patah dan aku tak sanggup lagi mendaki mimpi-mimpinya atau menjadi senjata dan perisai baginya. Bahkan aku tak dapat berkata apa-apa lagi pada langit dan bumi yang begitu murung dan malu melihat jejak-jejak yang layu .

Aku pernah membawakannya kenangan yang manis juga ingatan yang indah. Ingatan untuk melihat sesuatu yang jauh ke depan, ingatan yang bisa membuatnya melayangkan tatapannya lama dan dalam. Aku memintanya untuk memandang ke depan, bukan cuma esok hari, atau minggu depan, atau tahun yang akan datang. Jauh, nun jauh ke depan sana. Aku tak bertanya apa-apa ketika dia menatap ke depan lama dan dalam. Aku hanya melihatnya menatap jauh ke depan. Yang aku harapkan saat itu adalah, melihat matanya berkaca-kaca atau tersenyum mesra atau keduanya dalam tatapannya itu, karena itu berarti aku dimaafkan, dan akan ada lagi riak ombak dan pantai dan lautan dan angin, dan aku bisa berlayar sekali lagi. Ketika itu aku berpikir mungkin akan begitulah cinta.. Tetapi aku tak melihat mata yang berkaca-kaca atau senyum mesra. Yang aku lihat adalah desah nafas berat dan dalam, kemudian aku melihatnya berdiri dan berkata sepatah kata 'maaf' sebelum akhirnya melangkah perlahan meninggalkanku.

Dan setelah itu aku dipaksa untuk mengatakan banyak hal yang sulit kuucapkan. Aku dipaksa untuk datang ke tempat-tempat yang di mataku menjadi semacam ruang-ruang penghakiman. Aku mendengar gigi-gigi gemeretak, mendengar detak jantung tak semanak, dan seolah terkunci oleh sorot mata tajam merajam dari juri pengadilan. Aku benar-benar dipaksa. Bukan oleh siapapun, tetapi oleh kenyataan pahit yang harus kukunyah dan sulit kutelan. Aku diharuskan menelan sesuatu yang pahit yang kemudian membusuk dalam ragaku, mencemari darahku dan membuat akal pikiranku tak sehat.

Apa yang terjadi seringkali di luar dugaanku. Aku memang tak menyangkal bahwa apa yang terjadi adalah effect dari apa yang sudah terjadi. Apa yang tak pernah kuminta dan tak pernah kutagih pada siapapun menjadi kisah yang berakhir gamang, yang merindukan rasa airmata, dan karenanya dalam setiap kisah itu mengisyaratkan kecemasan yang telah lama merebaki waktu sejak kaca menunjukkan bisa jadi apa aku ini, dan cermin menerangkan apa dan siapa aku ini. Dan inilah tempat yang kupilih, yang kuharap dapat menemaniku meratapi nasib. Di sini -mungkin- airmataku akan menjadi telaga atau paling tidak mengalir di mata air yang menuju sungai. Dan desah nafasku yang tak berkesudahan akan menarikan daun-daun dan mengibaskan yang kering, menyapu debu-debu sebagai tanda dan pengakuan akan kepedihan yang kuderita. Dalam kesadaran-ketidaksadaran kadang aku melakukan hal yang aku sendiri seringkali tak meyakini bahwa itu kulakukan.

Jemariku seringkali tak menyadari apa yang dituliskan dan otakku tak mempercayai apa yang telah tertulis. Hal ini aku yakini sebagai kudeta dari ketidaksadaran atas kesadaran yang kemudian melahirkan hal-hal di luar kontrol pikiran. Ketidaksadaran yang menguasai alam bawah sadar, teritori kenangan dan ruang-ruang imajinasi yang kemudian dalam kondisi tertentu memancar keluar menjadi kata-kata sebagai manifestasi dari apa yang ada dalam ketidaksadaran. Atau sering disebut sebagai ungkapan perasaan. Ungkapan perasaan itu tertuang dalam formulasi-formulasi kata yang membentuk puisi, prosa, solilokui, cerpen dan surat-surat yang kusimpan sebagai jejak-jejak kenangan. Setiap orang punya kenangan bukan? Seperti juga dirimu dan orang-orang di luar sana.

Semua itu berawal dari buah cinta. Cinta dari Tuhan yang diberikan kepada kita. Cinta yang datang sebagai tangis yang memecah kesunyian, menumpahkan airmata, dan menggelembungkan kebahagiaan. Berawal dari tangis dan berakhir dengan tangis pula. Demikianlah yang ada dalam pikiranku saat ini. Aku lahir ke dunia dengan menangis dan akan meninggalkan dunia yang ?mungkin juga- akan ditandai dengan tangis. Mungkin itulah kenapa tak ada larangan untuk menangis. Dan aku berpendapat bahwa ketika seseorang melarang orang untuk menangis ?dalam kondisi tertentu- maka orang itu sesungguhnya tak mengerti apa arti sebuah tangis dan airmata. Orang yang naïf, yang menganggap dirinya selalu kuat hati dan menganggap tangis hanya melambangkan suatu kelemahan. Bukankah orang itu dilahirkan dalam keadaan menangis pula? Bukankah ketika sesuatu atau seseorang yang kita sayangi dan kita cintai meninggalkan kita, kita pun menangis? Ah, tentang cinta juga ujung-ujungnya. Cinta ibarat cangkir teh yang tiap hari terhempas ke lantai dan pecah berantakan. Dan setiap kali cangkir teh itu pecah berantakan, setiap kali itu pula kita ingin mengumpulkan pecahan-pecahannya kembali. Lalu pecahan-pecahan itu disatukan kembali dengan kehangatan dan perekat. Dan kembalilah cangkir itu terlihat utuh seperti semula. Bisa jadi tampak sempurna, bisa juga tak pernah menjadi sempurna seperti semula. Ketika mencinta, seringkali kita tak menyadari bahwa kita sedang menanti dengan cemas akan datangnya suatu hari yang menyedihkan dan atau menyakitkan saat cangkir teh itu kembali terhempas dan hancur berantakan sampai tak mungkin lagi dapat disatukan. ?Dia terlihat begitu risih ketika aku ingin memeluknya dan menolak ketika aku ingin mencium keningnya, meski untuk yang terakhir.

Walau bagaimana pun, dia telah menolakku sebelum aku dapat melakukan sedikit sesuatu yang dia inginkan, sebelum aku dapat mempersembahkan hasil dari apa yang kulakukan. Bahkan sebelum kami bertukar cerita tentang kenangan. Dan hatiku kocar-kacir setelah itu. Setelah tak lagi disediakan ruang bagiku untuk mengekspresikan cinta dan sayangku padanya. Mungkin dia beranggapan bahwa aku tak dapat menanggung konsekuensi dari percintaan dan masa lalu. Aku terima semua itu meski dengan berat hati, meski dengan sedikit dendam dan luka di hati. Tetapi aku tak akan melampiaskan dendamku, justru aku ingin mengaduk rasa dendam dengan rasa cintaku padanya yang masih ada sampai dendam dan rasa cintaku untuknya tak lagi terasa. Tetapi aku tak yakin dapat mengobati luka hatiku. Sebab kenyatan ini terlalu pahit buatku. Apa yang kuharapkan tak seperti apa yang terjadi. Tidak ada lagi yang dapat menahannya untuk pergi. Tak ada lagi yang bisa kuucap untuk membuatnya tetap disini. Mungkin dia menginginkan derajat yang lebih baik. -Sekarang dia bebas dari sesuatu yang menjebak dalam keterbatasan dan kesemuan, dan kuharap tak ada penyesalan di sana.

Hari telah malam dan di luar hujan begitu beringas menghunjam-hunjam. Mungkin saat ini memang waktunya hujan seperti itu. Tapi biarlah, semoga setelah hujan mereda dia akan merasakan gerimis yang melegakan. Meski tadinya aku berharap dia masih bersedia duduk sejenak menemaniku dan membuatku tersenyum dalam begitu banyak duka nestapa yang kupikul. Tetapi hanya tinggal harapan. Aku hanya bisa diam dalam kepedihanku sendiri ketika melihat punggungnya semakin menjauh. Barangkali itulah yang disebut perpisahan. Sebenarnya aku tak ingin menangis saat perpisahan itu. Tetapi aku tak bisa menahan menyeruaknya airmata yang mengintip dari celah-celah pintu yang tak pernah terkunci. Dan bila akhirnya aku menangis, sesungguhnya bukan karena dia pergi meninggalkanku, tetapi karena aku membayangkan seseorang pergi meninggalkannya. Mengapa banyak orang menangis karena cinta? Sekali lagi, mungkin karena mereka pun menangis saat terlahir ke dunia.

Ketika airmata mengalir dari mataku, memerah, dan aku kehilangan kesadaran akan diriku sendiri. Kemudian segalanya berubah, jelaslah bahwa perasaan-perasaan yang tak terlukiskan yang telah aku alami dan pencapaian dari sana-sini adalah dari Illahi, meskipun aku membayangkan bahwa semua itu berasal dari diriku sendiri. Aku ingin melihat semua sebagai keindahan ketika aku membuka mata dan seluruh tubuhku menjadi hati yang hendak kuserahkan. Adakah yang akan menghardik atau mengusirku pergi bila aku ingin memeluknya erat-erat?

Entah dalam kisah apa aku saat itu. Jiwaku berkarat oleh cuaca purba dan angin garam dalam hembusan nafasnya. Aku ingin terjaga dan menanggalkan rindu yang tak bernama, tetapi berulangkali matahari terbit dan tenggelam, belum juga bisa beranjak. Aku tak menduga bahwa kami tak sempat berpelukan sebelum perpisahan. Mata tak bisa saling tatap atau saling tusuk di persimpangan. Barangkali aku terlalu ingin melihat bunga-bunga mekar setiap pagi, sementara tak mengerti bagaimana memperlakukan bunga-bunga mekar itu. Pada akhirnya kenyataan menampar kanan dan kiri. Pedih perih tak terhindar lagi. Terbersit ingin menenggak racun paling maut agar lepas dari segala pedih perih ketika itu. Tetapi aku tak ingin menambah dosa dengan bunuh diri. Aku tak ingin mengakhiri kisah dengan kebodohan. Astaghfirullaahal?azhiim.

Dalam kesepianku, aku membayangkan penderitaan sebagai sesuatu yang indah, kepedihan sebagai musik yang menawan hati, bahkan aku ingin ?bermimpi- melihatnya terbang dengan sukacita sebagai ekstase menuju kebahagiaan. Sebab tangannya adalah sayap-sayap yang tangguh. Tetapi aku berbeda dalam mimpi itu. Aku adalah burung yang patah sayap dan tak mampu lagi terbang untuk mencarikan makan buat anak-anakku di sarang. Dan selalu saja terjerembab jatuh saat mencoba untuk terbang. Dia membawa keriangan sedang aku membawa luka tak berkesudahan. Itulah kenapa aku menangis ketika terjaga dari mimpiku. Akhirnya aku memahaminya meski rahasia tentang dirinya tak dapat kusingkap dan kebenaran rahasia dalam hatinya tak dapat kurengkuh. Mungkin baginya aku adalah api yang melalap kembang mawar yang mekar untuk cahaya, saat kelopak bunga mencari bayang dari matahari. Mungkin aku dan dia adalah campuran rumit dari apa yang tak kami bayangkan sebelumnya. Hingga saat satu titik cahaya menembus mata dan menghancurkan bayang-bayang, keretakan itu membuat kami merenangi titik-titik hampa yang kami lupakan ketika penglihatan kami menjadi jelaga bagi kekosongan jiwa. Bila aku dan dia adalah kembang mawar, kami tertarik pada cahaya, dan kami belum lagi memikirkan sepenggal kerumitan itu. Dan aku menangis untuknya bukan hanya untukku sendiri tetapi juga untuk jiwa-jiwa yang merindukan dan dirindukan yang saksinya aku sendiri dan berkeingin pergi kepadanya suatu saat nanti.

Banyak hal ingin kutuliskan, ingin kukatakan. Tetapi hingga detik ini tak semua yang kuingin itu dapat kulakukan. Apa yang akhirnya kutuliskan disini bukanlah cermin sepenuhnya dari apa yang terjadi padaku. Hanya beberapa keping ingatan dari retak-retak kenangan yang jatuh di persimpangan. Dan tak mungkin bagiku menuliskan semua yang kurasakan. Aku tak ingin telanjang di hadapan sekian banyak pasang mata. Memang bagi sebagian orang hal itu menjadi sebuah tontonan yang menyenangkan dan mungkin menggairahkan. Tetapi bagi sebagian yang lain hal itu bisa menjadi sesuatu yang menjijikkan dan atau memalukan. Lalu seperti apa yang akhirnya tertulis, aku berharap itu bukan sesuatu yang menjijikkan walau tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang kutuliskan ini ?sedikit- memalukan. Tapi ketika akhirnya aku memutuskan untuk ?jujur- mengatakan sesuatu yang sebenarnya, aku tahu bahwa salah satu konsekuensinya adalah rasa malu. Itu lebih baik dari pada tak punya rasa malu bukan?

Ketika akhirnya aku memilih atau memutuskan sesuatu, tentu saja bukan aku saja yang akhirnya menjadi obyek dari keputusan itu. Sebab aku hidup tidak sendirian. Sesuatu yang terjadi padaku memang effect dari apa yang aku lakukan. Tetapi aku melakukan sesuatu ?entah baik entah tidak baik- karena beberapa alasan. Salah satu alasan itu adalah orang lain. Dan ketika sesuatu yang tidak baik kulakukan maka sebagian orang lain kemudian menyalahkanku. Aku tidak menyalahkan mereka ketika aku disalahkan. Tetapi tentu saja asal hal itu tidak berlebihan. Sebab seorang penjahat pun tetap berhak mendapatkan keadilan atau pembelaan atas kejahatan yang dilakukan. Tentu saja dalam hal ini aku bukan penjahat.

Bukan pembelaan diri atau mencari pembenaran akan sesuatu, tetapi seringkali realitas yang ada cenderung menempatkan pesakitan sebagai seorang yang haknya dikaburkan kalau tidak mau dibilang dihilangkan. Ketika seseorang sakit hati atas apa yang kulakukan maka sudah hampir pasti bahwa aku disalahkan dalam hal itu. Tetapi seringkali pertanyaan ?Mengapa kamu ?tega- melakukan ini padaku?? menjadi pertanyaan egois yang jawaban-jawaban dari pertanyaan itu dicari dalam dirinya sendiri. Atau bisa jadi pertanyaan itu sekedar menjadi pertanyaan yang jawaban-jawabannya tidak dicari dengan cara yang benar kalau tidak mau dibilang tak pernah dicari. Ada lagi pertanyaan yang seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, ?Seorang penjahat pun punya hati nurani, apakah kamu tak punya?.? Pertanyaan ini seringkali tak disadari oleh yang bertanya bahwa telah memposisikan seseorang lebih jahat dari penjahat. Siapa yang lebih jahat dari penjahat? Jawabannya tentu bukan mbahnya penjahat atau moyangnya penjahat. Sebab kalau dijawab seperti itu, rentetan berikutnya adalah; yang membuat mbahnya penjahat atau moyangnya penjahat adalah setan dan atau iblis. Rentetan berikutnya; siapa yang membuat setan dan iblis ?yang akhirnya menjadi jahat- tentu saja adalah Tuhan Yang Maha Kuasa akan segala sesuatu.

Aku tidak ingin menyalahkan Tuhan. Tentu saja Tuhan tidak salah, Dia Maha Benar. Lepas dari jawaban-jawaban itu, pertanyaan di atas membuat orang yang diberi pertanyaan itu menjadi tersakiti. Meski mungkin itu pantas diterima karena telah menyakiti. Tetapi tetap saja konteks memanusiakan manusia menjadi tidak melalui proses yang baik karena tanpa disadari manusia itu sendiri yang tidak memanusiakan dirinya. Yang membuat orang dalam posisi tertentu, bukan orang lain, tetapi orang itu sendiri. Kapasitas orang yang bersangkutan yang membuatnya dalam posisi tertentu. Dan ketika seseorang yang lain memposisikan orang lain secara berlebihan atau tidak pada posisinya, sudah tentu itu menjadi tidak adil. Ah, siapa saat ini peduli tentang keadilan. Keadilan hanya ada di tangan Tuhan. Klasik.

Apa yang kemudian kualami dalam hidup, kuharapkan menjadi pelajaran yang penting dan dapat dipetik hikmahnya, baik bagiku atau bagi orang lain. Sebab salah satu bentuk kasih sayang Tuhan adalah mengingatkan umat yang Dia sayang dengan cara-Nya. Aku tidak bisa memilih cara yang kuinginkan dalam ini. Yang harus dilakukan adalah menerima peringatan itu dan berusaha untuk menjadi lebih baik agar mendapatkan sesuatu yang lebih baik juga tentunya. Aku yakin Tuhan sayang padaku. Ketika kepahitan hidup menjatuhkanku, kepahitan itu pula yang akhirnya membangunkanku kembali. Dari kedalaman sajadah kulihat banyak orang sepertiku. Begitu banyak, dan aku menjadi berani untuk menyusun kata-kata. membacanya di jendela menghadap rembulan dan bintang-bintang, tanpa ragu dan bimbang. Dan saat fajar menjelang, aku akan tahu mengapa aku hidup kembali. Waktu tak mungkin dapat dihentikan, meski sesungguhnya rasa malu begitu berat dipikul. Tetapi bukankah rasa malu mampu merubah dunia?